Pemilik Harta di Luar Negeri, Bersiaplah Bayar Pajak Lebih Tinggi
Selama puluhan tahun, menyimpan harta di bank dan institusi keuangan offshore (di luar negeri menjadi modus andalan pemilik harta bersembunyi dari kewajiban membayar pajak. Aturan pajak banyak negara mengharuskan wajib pajak membayar pajak atas penghasilan dari kegiatan maupun harta yang terdaftar di luar negeri. Tax treaty yang bersifat bilateral mengatur agar wajib pajak tidak dikenakan pajak berganda, tetapi tetap harus membayar selisihnya ke negara asal kalau pajak di luar negeri lebih rendah. Prakteknya, banyak wajib pajak yang sengaja tidak melaporkan penghasilan dan harta di luar negeri, sehingga tidak perlu membayar selisih pajak. Di sisi lain, "kerahasiaan bank" membuat otoritas pajak tidak punya akses untuk mengetahui keberadaan harta tersebut beserta informasi yang terkait.
Kombinasi tarif pajak yang sangat rendah dan aturan kerahasiaan bank membuat beberapa negara atau yuridiksi menjadi populer sebagai tax haven (tempat menyimpan harta dengan tujuan menghindari pajak), seperti Swiss, Cayman Islands, British Virgin Islands, Isle of Man, Jersey, dan Bermuda. Malaysia juga memiliki zona ekonomi khusus, Labuan, yang dibentuk sebagai tax haven. Sementara Hong Kong dan Singapura sebetulnya bukan tax haven, tapi tetap banyak digunakan untuk tujuan yang sama, karena posisinya sebagai hub keuangan dunia dan tarif pajak yang relatif lebih rendah. Keberadaan tax haven sekarang berada di ambang kepunahan, dan offshore terancam menurun daya pikatnya, dengan adanya AEOI.
Dipicu oleh krisis ekonomi Amerika Serikat di tahun 2008, yang diikuti oleh krisis global, banyak negara menjadi semakin agresif melakukan pengejaran pajak atas harta offshore. Amerika Serikat, tahun 2010, mengeluarkan FATCA. Undang-undang itu, melalui perjanjian bilateral antar negara, mewajibkan semua institusi keuangan offshore untuk melaporkan data nasabah negara asal (AS) dan harta yang disimpan.
Tahun lalu, G-20 dan OECD sepakat untuk mengadopsi FATCA untuk menjadi kerjasama multilateral yang disebut Automatic Exchange of Information (AEOI). Kerjasama ini memberi akses bagi otoritas pajak masing-masing negara ke data wajib pajak yang memiliki harta di negara lain yang sama-sama menerapkan AEOI. Keterbukaan tersebut tidak terbatas atas rekening bank, tapi termasuk trust, foundation, wasiat dan asuransi). Berlakunya AEOI menjadi akhir dari "kerahasiaan bank".
Lebih jauh, disepakati bahwa AEOI akan memiliki mekanisme mendeteksi dan mencegah Base Erosian and Profit Shifting (BEPS) alias transfer pricing. Praktek transfer pricing banyak dilakukan perusahaan multi nasional dengan cara sengaja merugi di negara bertarif pajak tinggi, dan memindahkan keuntungan ke negara bertarif pajak rendah. AEOI dan anti-BEPS diyakini nantinya bisa mendeteksi transfer pricing dan memaksa wajib pajak membayar pajak yang seharusnya.
Sebagai anggota G-20, Indonesia sepakat dan menyatakan komitmen menerapkan AEOI paling lambat September 2018. Saat ini beberapa aturan di dalam negeri Indonesia sedang disiapkan oleh pihak-pihak terkait. Nantinya wajib pajak Indonesia akan sulit bersembunyi dari otoritas pajak. Harta, penghasilan dan keuntungan di negara lain menjadi terbuka dan akan dikenakan pajak seharusnya, yang cenderung jumlahnya lebih besar dari biasanya. Antisipasi dengan relokasi ke negara atau yuridiksi lain makin kekurangan pilihan, karena makin banyak negara di luar G20 dan OECD yang saat ini menyatakan komitmen untuk ikut menerapkan AEOI.
UPDATE [14 April 2016]: Sudah 98 negara menyatakan komitmen untuk menerapkan AEOI. September 2017 menjadi waktu yang dikomitmenkan untuk dimulainya penerapan AEOI oleh 55 negara, di antaranya Virgin British Islands, Cayman Islands dan Isle of Man.
Sisa 43 negara lain, termasuk Indonesia, Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Swiss akan mulai menerapkan AEOI paling lambat September 2018.
Daftar selengkapnya negara yang berkomitmen menerapkan AEOI, di sini.
Anda punya harta atau penghasilan di luar negeri? Bersiaplah...