Ekonomi Memburuk, Bagaimana Nasib Reksadana Saya?
Nuansa perayaan hari Kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini yang ke 70, sepertinya sangat cepat pudar. Optimisme sesama anak bangsa yang meyakini Indonesia adalah bangsa dan negara besar dengan masa depan yang cerah, seperti menguap hanya lewat beberapa hari. Pangkal sebabnya adalah nilai tukar mata uang Dollar Amerika terhadap Rupiah menyentuh angka 14.000. Hal yang membuat lebih pusing lagi untuk masyarakat kelas menengah yang notabene punya investasi di pasar modal, tentunya Index Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sudah turun 21% selama hampir 6 bulan terakhir. Pertanyaan yang muncul tentunya: apa nasib reksadana saya? Apakah dicairkan dan dibelikan Dollar?
Sebelum menjawab pertanyaan tadi, ada baiknya kita lihat apa yang terjadi di bursa saham Indonesia beberapa tahun ke belakang. Kalau masuk ke pembahasan ekonomi, baik domestik maupun global, tulisan ini akan jadi panjang dan rumit. Jadi batasi saja dengan naik turunnya saham atau IHSG dalam 10 tahun terakhir. Naik turun adalah hal yang sangat biasa untuk saham, tapi setidaknya ada 2 periode yang membuat investor saham dan tentunya investor reksadana berbasis saham merasa hancur.
Periode pertama dan yang paling terkenal sekaligus menyakitkan adalah Jan - Nov 2008, yang dikenal dengan krisis keuangan 2008. Selama 11 bulan, IHSG turun total sekitar 73%, dengan masa paling mencekam di 3 bulan terakhir (Sep - Nov) saat turun 50%. Index naik lagi dan menutup penurunan 50% sebelumnya dalam 7 bulan kemudian (Jul 2009) dan dalam 8 bulan selanjutnya (Mar 2010) menutup penurunan 73% seluruhnya.
Periode kedua terburuk adalah Mei - Dec 2013. Selama 8 bulan, IHSG turun sekitar 27%. Kali ini penurunan tersebut tertutup dengan kenaikan index dalam 9 bulan berikutnya (Sep 2014).
Tapi yang perlu diingat juga bahwa antara periode terburuk pertama dan kedua, ada periode selama 4,5 tahun atau 54 bulan index naik sebesar 500% lebih, atau hampir 2 kali lipat kalau dihitung sebelum periode buruk pertama dimulai.
Periode buruk saat ini, sudah berlangsung selama 6 bulan, dan kali ini index sudah turun 21%. Apakah kondisi akan segera membaik atau semakin memburuk seperti 2008? Tidak ada yang tahu pasti. Tapi beberapa langkah praktis perlu segera dilakukan untuk menyelamatkan rencana keuangan kita.
INVESTASI BARU. Jauhi dulu saham dan reksadana saham! Kalau Anda punya alokasi investasi rutin, misalnya bulanan, sebaiknya investasikan dulu di reksadana pasar uang atau bahkan deposito bulanan. Mungkin Anda akan protes, karena saran ini bertolak belakang dengan saran perencanaan keuangan umumnya bahwa deposito akan kalah dengan dengan inflasi. Lupakan sebentar faktor inflasi, karena investasi yang menyusut tentunya lebih menyedihkan dibandingkan investasi yang naiknya hanya kecil.
Bagaimana dengan Dollar Amerika? Bukankah saat yang baik untuk investasi membeli Dollar saat ini, karena banyak kalangan memperkirakan nilainya masih akan naik lagi terhadap Rupiah? Kecuali Anda memang membutuhkannya untuk transaksi, sebaiknya jangan ikut berspekulasi membeli Dollar. Masih ada cara lain untuk berinvestasi dengan baik. Mungkin hasilnya tidak besar, tapi setidaknya dengan tidak ikut berspekulasi membeli Dollar, Anda tidak secara sengaja ikut memperlemah Rupiah.
INVESTASI YANG SUDAH ADA. Saat ini Anda mungkin berpikir untuk mencairkan seluruh reksadana saham yang dimiliki. Sabar, periksa lagi kapan dana investasi tersebut rencananya Anda akan gunakan? Pisahkan rencana penggunaan dana untuk 12 bulan ke depan, 24 bulan ke depan, dan seterusnya. Kemudian mulai tata investasi Anda sesuai risikonya. Masih bingung? Coba baca lagi Waktu Berjalan, Risiko Berubah. Kenapa sebaiknya dipisah-pisah, kenapa tidak dicairkan semua saja saat ini dan nanti beli lagi? Kecuali Anda rutin mengikuti perkembangan bursa saham, cara tersebut biasanya membuat Anda akan "ketinggalan kereta" saat index saham mulai naik lagi. Saat index nantinya sudah kembali ke harga yang sama sebelum turun, Anda masih dalam posisi rugi karena "ketinggalan kereta" tersebut.
Bagaimana dengan Unitlink? Kalau investasi Anda berupa unitlink, saran di atas menjadi tidak relevan. Produk proteksi berbalut investasi ini memang tidak memungkinkan Anda berhenti membayar premi tanpa kehilangan proteksinya. Anda juga hanya bisa mencairkan sebagian dana yang sudah ditentukan kapan bisa dicairkan. Sifat yang tidak fleksibel ini yang jadi salah satu alasan unitlink tidak banyak disarankan oleh para perencana keuangan, kecuali oleh mereka yang juga bekerja menjual unitlink.
Kalau saat ini mayoritas investasi berupa unitlink, sudah saatnya rencana keuangan Anda ditata ulang. Tidak paham mulai dari mana? Diskusikan dengan perencana keuangan independen yang Anda kenal.
Semoga beberapa saran di atas bisa jadi bekal Anda untuk menghadapi kondisi ekonomi saat ini yang semakin memburuk. Tetap optimis, dengan perencanaan yang baik kita bisa lebih siap menghadapi kondisi buruk.